Untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kode etik DPRD dalam menjalankan tugas dan fungsi dibidang Pembentukan Perda serta menjaga kehormatan Pimpinan dan anggota DPRD, Badan Pembentukan Perda dan Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Pemalang kunjungai Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta.
Kunjungan yang diikuti oleh pimpinan, ketua dan Anggota Bapemperda dan Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Pemalang di Kementerian dalam negeri diterima oleh Gani Muhammad Kasubdit Wilayah II Direktorat Produk Hukum Daerah Kementerian dalam negeri , kemudian di kementerian Hukum dan Ham, Pimpinan, Ketua dan anggota Bapemperda serta BK diterima oleh Siti Opi Muhapilah Kasi Wilayah III Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah kementerian Hukum dan Ham.
Ketika diterima di Kemendagri dan Kemenkuham, Wakil Ketua DPRD Syarkawi mengatakan kujungan kerja dalam rangka konsultasi ini dimaksudkan untuk menggali informasi dan kejelasan terkait tugas-tugas Badan Pembentukan Perda dan Badan Kehormatan serta regulasi-regulasi yang mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi kedua alat kelengkapan dewan tersebut. Dalam kunjungan kerja dengan agenda konsultasi tersebut beberapa anggota Bapemperda dan Kehormatan menanyakan berbagai hasil seperti Apa mekanisme yang ditempuh untuk mengakomodir hasil klarifikasi tersebut?, Apakah ada regulasi yang mengatur tentang kadaluarsa Raperda? Bagaimana cara mengukur efektifitas Perda?, Standar anggaran agar seluruh proses pembentukan Perda dapat berjalan efektif, Apakah dalam menyusun Peraturan Kode Etik serta Pedoman Beracara DPRD bisa memasukkan unsur local wisdom (kearifan lokal), hukum serta norma agama/adat dan Bagaimana langkah Badan Kehormatan DPRD dalam menyikapi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penyesuaian Batasan Tindakan Pidana Ringan dan Jumlah denda dalam KUHP, disebutkan bahwa kasus pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan dengan nilai tidak lebih dari 2,5 juta maka dikategorikan sebagai tindak pidana ringan dengan hukuman denda atau ancaman hukuman kurang dari 1 tahun sehingga apabila anggota DPRD melakukan tindak pidana tersebut tidak bisa diberhentikan, sedangkan perilaku dan tindakannya telah melanggar sumpah janji dan kode etik DPRD..
Dari berbagai pertanyaan yang diajukan oleh Pimpinan, Ketua dan Anggota Bapemperda dan Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Pemalang, Pihak Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan Ham menjelaskan mekanisme dalam mengakomodiri hasil klarifikasi Perda, memang belum ada pengaturan terkait mekanisme pembahasan perda apabila terdapat perubahan substansi materi setelah dilakukan klarifikasi oleh gubernur, hal tersebut akan diakomodir untuk dijadikan bahan perumusan peraturan perundangan selanjutnya. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; Selain Raperda tentang RPJP, RPJMD, Tata Ruang, Pajak/Retribusi, dan APBD tidak ada mekanisme klarifikasi Perda oleh gubernur akan tetapi apabila perda tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum maka langsung dibatalkan. Sedangkan dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota diterima. Kemudian Langkah yang dapat ditempuh agar perda yang sudah ditetapkan tidak dibatalkan oleh Gubernur adalah pada proses pembahasan dan sebelum paripurna penetapan raperda tersebut dikonsultasikan terlebih dahulu kepada gubernur, agar apabila terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi dapat segera disesuaikan. Selain langkah konsultasi, untuk menghindari pembatalan perda maka dalam penyusunan perda harus mengikuti prosedur, tahapan dan mekanisme yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Sementara secara prinsip Pemerintah Pusat berusaha meminimalisir pembatalan perda, karena pembuatan perda membutuhkan biaya mahal, untuk itu agar tidak terjadi permborosan anggaran disarankan sebelum menyusun perda atau pada tahap perencanaan sampai dengan pembahasan terlebih dahuli dikonsultasikan ke gubernur Oleh karena. pembatalan sebuah perda bisa pembatalan keseluruhannya, bisa pada salah satu Bab, pasal, atau ayatnya saja, apabila pembatalan hanya pada bab, pasal atau sal;ah satu ayatnya saja maka langkah yang ditempuh pemerintah daerah terhadap pembatalan perda tersebut adalah menghentikan Bab, Pasal atupun ayat yang dibatalkan kemudian baru menyusun perubahan Perda dimaksud.
Sedangkan menyinggung regulasi yang mengatur kedaluwarsa Raperda serta mengukur efektivitas Perda, Kemendagri dan Kemenkuham menjelaskan tidak ada ketentuan yang mengatur kadaluarsanya Raperda. Raperda yang tidak bisa dibahas pada tahun berjalan dapat diusulkan kembali pada Program Pembentukan Peraturan Daerah tahun berikutnya.. kemudian rencana pembuatan Perda harus berdasarkan prinsip kualitatif dan berdasarkan kebutuhan tidak hanya menggunakan pendekatan kuantitatif. Disamping itu raperda dikoordinasikan oleh bagian hukum untuk pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi. Dalam pengkoordinasian tersebut bagian hukum dapat menyertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Selain itu raperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas, dengan surat kepala daerah disertai alasannya. Apabila raperda tersebut sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala daerah.Adapun hal penting yang perlu diperhatikan adalah dalam penyusunan Program Pembentukan Perda agar diakomodir Penyusunan Perda Komulatif terbuka, agar apabila terdapat Raperda yang mendesak dibahas karena tuntutan peraturan perundangan yang lebih tinggi tidak/ belum tercantum dalam program pembentukan perda, maka Raperda tersebut dapat dimasukkan dalam program pemahasan raperda pada tahun berjalan. Sedangkan cara mengukur efektivitas Perda, menurut Kemendagri dan Kemenkuham mengatakan perda dapat dikatakan efektif apabila dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di daerah, kemudian. Untuk mengukur efektif tidaknya perda yang dihasilkan sebenarnya diawali dari perencanaan pembentukan perda, perda yang akan dibentuk harus benar-benar sesuai kebutuhan dan sesuai dengan kultur budaya masyarakat, tidak hanya mengadopsi dari daerah lain yang dianggap lebih baik kemudian diterapkan. Sealain itu pelibatan masyarakat dalam pembentukan perda akan dapat menjaring permasalah-permasalahan sekaligus pemecahan solusinya yang dapat diatur dalam substansi raperda. Sementara itu efektif tidaknya Perda juga tergantung pada unsur pengawal dan penegak perda. Penegak perda harus tegas, karena tidak mungkin perda akan berlaku efektif apabila dalam penegakkan pelanggaran terhadap perda bersifat pasif.
Menyinggung mengenai Penyusunan Kode etik dan langkah BK dalam menyikapi Peraturan MA terkaiit Batasan tindak Pidana ringan, kemendagri dan Kemenkuham menjelaskan Penyusunan Kode Etik maupun Pedoman Beracara dapat memasukan kearifan lokal, norma agama sesuai dengan kesepakatan bersama, selain itu Kode etik tidak perlu terlalu rinci, karena akan mempersulit internal DPRD. Sementera batasan tindak pidana ringan yang diatur dalam Peraturan MA ditegaskan Pemberhentian Anggota DPRD dapat melalui beberapa jalur, antara lain meninggal dunia, mengundurkan diri, diberhentikan oleh partai, terkena ancaman pidana paling rendah 5 tahun, maupun karena melanggar kode etik, kemudiam terhadap kasus tindak pidana ringan yang dilakukan oleh anggota DPRD tergantung penyikapan internal DPRD dalam menanganinya.